Diperkirakan Desa Samiran telah ada sejak masa pendudukan Jepang dalam wilayah karesidenan Surakarta saat itu merupakan wilayah pesanggrahan Kraton Solo. Hal itu dibuktikan dengan peninggalan sejarah kraton Surakarta Hadiningrat masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwono ke-6 sebuah pesanggrahan Ngindro Marto (sekarang dikenal dengan Goa Raja). Pesanggrahan Ngindro Marto tersebut sering untuk pertemuan antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono ke-6 dalam upaya berjuang melawan penjajah Belanda. Desa Samiran merupakan salah satu desa di Kecamatan Selo yang masuk dalam wilayah Kawedanan Ampel. Desa di lereng merapi itu seperti menyimpan daya tarik. Desa yang berpenduduk ramah itu mempunyai sejarah panjang yang berawal dari runtuhnya kerajaan Majapahit setelah kejayaan Demak Bintoro. Kebo Kanigoro yang petilasannya terdapat di pojok desa itu dianggap masyarakat sebagai leluhur cikal-bakal masyarakat Samiran.
Konon setelah Majapahit runtuh, beberapa kerabat majapahit yang tidak ‘tertarik’ dengan dakwah Islam, memilih mengasingkan diri hidup di pegunungan, belantara hutan atau tempat-tempat tak berpenghuni yang jauh dari jangkauan kekuasaan kerajaan. Leluhur masyarakat Tengger di gunung Bromo, leluhur orang-orang Bali, dan Kebo Kanigoro sendiri adalah sebagian orang yang memilih lari dari ajakan kekuasaan Demak Bintoro. Kebo Kanigoro adalah saudara kandung dari Kebo Kenongo, keduanya adalah putra dari Ratu Pembayan putri dari Kertabumi atau Brawijaya V. Ratu Pembayun diperisteri oleh Pangeran Handayaningrat Pengging atau Ki Ageng Pengging, yang berkuasa di daerah pengging. Dan, oleh karena itu juga Kebo Kenongo mewarisi Kerajaan Pengging. Berbeda dengan saudaranya Kebo Kenongo yang memeluk Islam, Kebo kanigoro lebih memilih untuk bertapa mengasingkan diri. Meskipun demikian, kebo kanigoro tidak sepenuhnya acuh terhadap persoalan yang dihadapi oleh kerabatnya yang berada di Pengging.Ini terbukti pada saat Mas Karebet atau lebih di kenal dengan nama Jaka Tingkir (Hadiwijaya) sedang mengalami masalah yang berkaitan dengan nama baiknya di muka penguasa Demak. Jaka Tingkir yang merupakan keponakan atau anak dari kebo Kenongo mendapat masalah di Kerajaan Demak setelah Jaka Tingkir membunuh prajurit baru yang bernama Dadungawuk yang sombong dan suka pamer. Entah siapa yang mengarahkan, saat itu Jaka Tingkir menyambangi Pamannya Kebo Kanigoro ke lereng merapi untuk mengadukan persoalannya sekaligus menimba ilmu di sana. Singkat cerita, setelah kepergiannya dari lereng merapi, Joko Tingkir seperti mendapat pencerahan, sehingga dia dapat menyelesaikan persoalannya dengan tuntas. Setelah itu ia kembali ke Demak bersama ketiga murid yang lain, yaitu Mas Manca, Mas Wila, dan Ki Wuragil.
Solusi yang turun di lereng merapi itu kemudian hari dikenal dengan “tragedi Kebo danu”. Saat itu Trenggana sekeluarga sedang berwisata di Gunung Prawoto. Jaka Tingkir melepas seekor kerbau gila yang dinamakan sebagai Kebo Danu yang sudah diberi mantra (diberi tanah kuburan pada telinganya). Kerbau itu mengamuk menyerang pesanggrahan raja, di mana tidak ada prajurit yang mampu melukainya. Jaka Tingkir tampil menghadapi kerbau gila. Kerbau itu dengan mudah dibunuhnya. Atas jasanya itu, Trenggana mengangkat kembali Jaka Tingkir menjadi lurah wiratamtama.
Kisah dalam babad tersebut seolah hanya kiasan, bahwa setelah dipecat, Jaka Tingkir menciptakan kerusuhan di Demak, dan ia tampil sebagai pahlawan yang meredakannya. Oleh karena itu, ia pun mendapatkan simpati raja kembali.
Berangkat dari situ, prestasi Jaka Tingkir sangat cemerlang meskipun tidak diceritakan secara jelas dalam Babad Tanah Jawi. Hal itu dapat dilihat dengan diangkatnya Jaka Tingkir sebagai Adipati Pajang bergelar Adipati Adiwijaya. Ia juga menikahi Ratu Mas Cempaka, putri Trenggana. Dari sini keponakan Kebo Kanigoro memulai karir politiknya, wilayah yang dulunya hanya sebuah kadipaten di kemudian hari dia rubah menjadi kerajaan, yaitu kerajaan Pajang.
Dari kerajaan Pajang Jaka Tingkir itulah, kerajaan Mataram Islam lahir. Wilayah kerajaan Mataram Islam pada awalnya adalah tanah perdikan (hadiah) dari Jaka Tingkir (Hadiwijaya) kepada Ki Ageng Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan kekuasaan Arya Penangsang.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, puteranya yang bergelar Sunan Prawoto seharusnya naik takhta, tapi kemudian ia tewas dibunuh Arya Penangsang (sepupunya di Jipang) tahun 1549. Arya Penangsang membunuh Sunan Prawoto karena Sunan Prawoto sebelumnya juga membunuh ayah Aryo Penangsang yang bernama Pangeran Sekar Seda Lepen sewaktu ia menyelesaikan salat ashar di tepi Bengawan Sore. Pangeran Sekar merupakan adik kandung Trenggana sekaligus juga merupakan murid pertama Sunan Kudus. Pembunuhan-pembunuhan ini dilakukan dengan menggunakan Keris Kiai Setan Kober. Selain itu Aryo Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri suami dari Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara.
Kemudian Aryo Penangsang mengirim utusan untuk membunuh Adiwijaya di Pajang, tapi gagal. Justru Adiwijaya menjamu para pembunuh itu dengan baik, serta memberi mereka hadiah untuk mempermalukan Arya Penangsang.
Sepeninggal suaminya, Ratu Kalinyamat (adik Sunan Prawoto) mendesak Adiwijaya agar menumpas Aryo Penangsang karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan adipati Jipang tersebut. Adiwijaya segan memerangi Aryo Penangsang secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak dan merupakan saudara seperguruan sama-sama murid Sunan Kudus.
Maka, Adiwijaya pun mengadakan sayembara. Barangsiapa dapat membunuh Aryo Penangsang akan mendapatkan tanah Pati dan Mentaok/Mataram sebagai hadiah.
Sayembara diikuti kedua cucu Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi. Dalam perang itu, Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Ageng Pemanahan) berhasil menyusun siasat cerdik sehingga sehingga Sutawijaya (Anak Ki Ageng Pemanahan) dapat menewaskan Arya Penangsang setelah menusukkan Tombak Kyai Plered ketika Aryo Penangsang menyeberang Bengawan Sore dengan mengendarai Kuda Jantan Gagak Rimang.
Setelah peristiwa tahun 1549 tersebut, Pusat kerajaan tersebut kemudian dipindah ke Pajang dengan Hadiwijaya sebagai raja pertama. Demak kemudian dijadikan Kadipaten dengan anak Sunan Prawoto yang menjadi Adipatinya
Hadiwijaya juga mengangkat rekan-rekan seperjuangannya dalam pemerintahan. Mas Manca dijadikan patih bergelar Patih Mancanegara, sedangkan Mas Wila dan Ki Wuragil dijadikan menteri berpangkat ngabehi.
Hubungan Pajang-Mataram menjadi tidak harmonis lagi setelah terjadi beberapa kasus yang melibatkan kerabat Pajang dan Kerabat Mataram. Pada Waktu itu Kerajaan Mataram sudah di pimpin oleh Sutawijaya sebagai penerus tahta Ki Ageng Pamenahan.
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pemanahan yang juga menjadi anak angkat Hadiwijaya. Sepeninggal ayahnya tahun 1575, Sutawijaya menjadi penguasa baru di Mataram, dan diberi hak untuk tidak menghadap selama setahun penuh.
Waktu setahun berlalu dan Sutawijaya tidak datang menghadap. Adiwijaya mengirim Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil untuk menanyakan kesetiaan Mataram. Mereka menemukan Sutawijaya bersikap kurang sopan dan terkesan ingin memberontak. Namun kedua pejabat senior itu pandai menenangkan hati Adiwijaya melalui laporan mereka yang disampaikan secara halus.
Tahun demi tahun berlalu. Jaka Tingkir mendengar kemajuan Mataram semakin pesat. Ia pun kembali mengirim utusan untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya. Kali ini yang berangkat adalah Pangeran Benawa (putra mahkota), Arya Pamalad (menantu yang menjadi adipati Tuban), serta Patih Mancanegara. Ketiganya dijamu dengan pesta oleh Sutawijaya. Di tengah keramaian pesta, putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga membunuh seorang prajurit Tuban yang didesak Arya Pamalad. Arya Pamalad sendiri sejak awal kurang suka dengan Sutawijaya sekeluarga.
Maka sesampainya di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, sedangkan Pangeran Benawa menjelaskan kalau peristiwa pembunuhan tersebut hanya kecelakaan saja. Jaka Tingkir menerima kedua laporan itu dan berusaha menahan diri.
Pada tahun 1582 seorang keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Raden Pabelan dihukum mati karena berani menyusup ke dalam keputrian menemui Ratu Sekar Kedaton (putri bungsu Hadiwijaya). Ayah Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang dijatuhi hukuman buang karena diduga ikut membantu anaknya.
Ibu Raden Pabelan yang merupakan adik perempuan Sutawijaya meminta bantuan ke Mataram. Sutawijaya pun mengirim utusan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya ke Semarang.
Perbuatan Sutawijaya itu menjadi alasan Hadiwijaya untuk menyerang Mataram. Perang antara kedua pihak pun meletus. Pasukan Pajang bermarkas di Prambanan dengan jumlah lebih banyak, namun menderita kekalahan. Adiwijaya semakin tergoncang mendengar Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan laharnya ikut menerjang pasukan Pajang yang berperang dekat gunung tersebut.
Adiwijaya menarik pasukannya mundur. Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke makam Sunan Tembayat namun tidak mampu membuka pintu gerbangnya. Hal itu dianggapnya sebagai firasat kalau ajalnya segera tiba.
Adiwijaya melanjutkan perjalanan pulang. Di tengah jalan ia jatuh dari punggung gajah tunggangannya, sehingga harus diusung dengan tandu. Sesampai di Pajang, datang makhluk halus anak buah Sutawijaya bernama Ki Juru Taman memukul dada Adiwijaya, membuat sakitnya bertambah parah.
Adiwijaya berwasiat supaya anak-anak dan menantunya jangan ada yang membenci Sutawijaya, karena perang antara Pajang dan Mataram diyakininya sebagai takdir. Selain itu, Sutawijaya sendiri adalah anak angkat Adiwijaya yang dianggapnya sebagai putra tertua. Pada cerita rakyat dinyatakan bahwa sebenarnya Sutawijaya adalah anak kandung Adiwijaya dengan anak Ki Ageng Sela.
Adiwijaya alias Jaka Tingkir akhirnya meninggal dunia tahun 1582 tersebut. Ia dimakamkan di desa Butuh, yaitu kampung halaman ibu kandungnya.
Hadiwijaya memiliki beberapa orang anak. Putri-putrinya antara lain dinikahkan dengan Panji Wiryakrama Surabaya, Raden Pratanu Madura, dan Arya Pamalad Tuban. Adapun putri yang paling tua dinikahkan dengan Arya Pangiri bupati Demak. Arya Pangiri sebenarnya adalah anak Sunan Prawoto, yang seharusnya memang menggantikan Trenggana menjadi raja Demak.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus (pengganti Sunan Kudus) untuk menjadi raja. Pangeran Benawa sang putra mahkota disingkirkan menjadi bupati Jipang. Arya Pangiri pun menjadi raja baru di Pajang dengan nama tahta Ngawantipura.
Andai Jaka Tingkir tidak berguru di Samiran pada waktu itu, mungkin tragedy “Kebo Danu” tidak akan terjadi, oleh karena itu Kerajaan Pajang tidak berdiri, dan tentu saja, Mataram Islam (Surakarta-Yogyakarta) tidak akan pernah berwujud.
TAHUN | URAIAN KEJADIAN | KEGIATAN |
1954 |
Ditetapkannya Pemerintahan Desa Samiran yang menggunakan rumah pribadi sebagai Kantor Desa, yang kemudian membangun kantor desa di Dk Ngaglik (Tanah Magersari) |
Ditetapkannya Hari Jadi Desa Samiran tanggal 12 Juli 1954 M.(30 Dzul qo’dah1373 H)“WARI AGUNG” |
1988 | Pembangunan dan perpindahan gedung balai desa dari yg lama ke yg baru berlokasi dari Dk. Ngaglik ke Dk.Samiran |
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka secara berturut-turut penyelenggaraan Pemerintahan Desa Samiran dilaksanakan oleh Kepala Desa masing-masing.
Kemudian paska reformasi lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana System Pemerintahan Desa banyak mengalami perubahan dengan dibentuknya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga Legislasi di tingkat Desa maka Pemilihan Kepala Desa Samiran menyesuaikan dengan aturan baru.
Berikut adalah yang pernah menjabat sebagai Kepala Desa Samiran :
Reso Dimejo 1954 s/d Tahun 1974
Dardjo 1975 s/d Tahun 1988
Kisnadi 1989 s/d Tahun 2006
Marjuki,S.PdI 2007 s/d tahun 2013 s/d tahun 2018
Herman 2019